Saat
Sungai Pinang ‘Meminang’ CSR
Desa
Rantau Nangka Kecamatan Sungai Pinang Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan,
layak menerima “pinangan” dari program CSR
(Corporate Social Responsibility)
bentuk kerjasama membanggun lingkungan berdasar kepedulian PT Pamapersada Nusantara Distric
KCMB. Bersinergi dengan pendanaan dari BLM PNPM Mandiri Perdesaan Integrasi SPP-SPPN
2013 sebesar Rp 450.052.700, perusahaan pertambangan itu menambah bantuan
sebesar Rp 302.940.000, sehingga ada dana Rp 752.992.700 untuk peningkatan
jalan lintas desa lebih berkualitas mendukung pertumbuhan ekonomi perdesaan.
Kondisi
jalan di sana tidak layak, licin, terjal, dan berlumpur. Namun begitu
masyarakat tetap melewatinya menggunakan sepeda motor mengangkut hasil
perkebunan ke luar desa. Usulan perbaikan sudah diajukan melalui mekanisme
Musrenbang Reguler tiga tahun lalu. Barulah pada 2012 setelah dimasukkan dalam
Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDes) segera diperjuangkan agar terdanai BLM
PNPM-Integrasi 2013. Desa lain pun mendukung, sehingga usulan itu menjadi
prioritas kecamatan.
Tim
verifikasi menyimpulkan, usulan sangat mendesak tetapi anggaran besar. Hanya
mengandalkan BLM tidak akan maksimal. Diskusi di lapangan pun semakin
berkembang antara harapan..kebutuhan masyarakat dan kriteria usulan yang dapat didanai.
Musyawarah bermufakat, untuk “meminang” pihak ketiga, CSR dari perusahaan yang
ternyata ada di wilayah desa sekitar. Berberbekal dukungan dari Kepala Desa dan
unsur pemerintah desa serta masyarakat, komunikasi dengan pihak ketiga
membuahkan hasil.
Kita
berupaya gerakan membangun pola kerjasama ini semakin digalakkan dan di
fasilitasi oleh lembaga kemasyarakatan, baik yang ada di desa maupun yang di
ada di kecamatan seperti BKAD (Badan Kerjasama Antar-Desa). Ini mengingat,
peran lembaga berbasis masyarakat ke depan sebagai wadah sekaligus agen
penggerak, memfasilitasi, memediasi, mengkomunikasikan dan sekaligus menjadikan
lembaga sebagai aktor utama untuk mendorong partisipasi. Juga untuk mendayagunakan
keswadayaan dan gotong royong demi menciptakan kesejahteraan dan kemandirian
masyarakat desa.
Tanggung jawab sosial
Tanggung jawab sosial
Pembangunan suatu negara bukan hanya
tanggung jawab pemerintah saja. Setiap insan manusia berperan untuk mewujudkan
kesejahteraan sosial dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Dunia usaha
berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang sehat dengan mempertimbangan
pula faktor lingkungan hidup. Kini dunia usaha tidak lagi hanya memerhatikan
catatan keuangan perusahaan semata (single bottom line). Melainkan juga
sudah meliputi aspek keuangan, aspek sosial, dan aspek lingkungan atau biasa
disebut triple bottom line. Sinergi dari tiga elemen ini merupakan
kunci dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Upaya tersebut secara umum dapat
disebut sebagai corporate social responsibility atau corporate
citizenship dan dimaksudkan untuk mendorong dunia usaha lebih etis
dalam menjalankan aktivitasnya agar tidak berpengaruh atau berdampak buruk pada
masyarakat dan lingkungan hidupnya. Sehingga pada akhirnya dunia usaha akan
dapat bertahan secara berkelanjutan untuk memperoleh manfaat ekonomi yang
menjadi tujuan dibentuknya dunia usaha.
Konsep tanggung jawab sosial
perusahaan telah mulai dikenal sejak awal 1970an, yang secara umum diartikan
sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang berhubungan dengan stakeholder,
nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat dan lingkungan;
serta komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara
berkelanjutan. CSR tidak hanya merupakan kegiatan karikatif
perusahaan dan tidak terbatas hanya pada pemenuhan aturan hukum semata.
Aturan
CSR
Di
Tanah Air, debut CSR semakin menguat terutama setelah dinyatakan dengan tegas
dalam UU PT No.40 Tahun 2007 yang belum lama ini disahkan DPR. Disebutkan bahwa
PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya
alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 74 ayat 1).
UU PT tidak menyebutkan secara rinci berapa besaran biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk CSR serta sanksi bagi yang melanggar. Pada ayat 2, 3 dan 4 hanya disebutkan bahwa CSR ”dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran”. PT yang tidak melakukan CSR dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan.
UU PT tidak menyebutkan secara rinci berapa besaran biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk CSR serta sanksi bagi yang melanggar. Pada ayat 2, 3 dan 4 hanya disebutkan bahwa CSR ”dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran”. PT yang tidak melakukan CSR dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan.
Peraturan
lain yang menyentuh CSR adalah UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Pasal 15 (b) menyatakan bahwa ”Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan
tanggung jawab sosial perusahaan.” Meskipun UU ini telah mengatur sanksi-sanksi
secara terperinci terhadap badan usaha atau usaha perseorangan yang mengabaikan
CSR (Pasal 34), UU ini baru mampu menjangkau investor asing dan belum mengatur
secara tegas perihal CSR bagi perusahaan nasional.
Jika
dicermati, peraturan tentang CSR yang relatif lebih terperinci adalah UU No.19
Tahun 2003 tentang BUMN. UU ini kemudiaan dijabarkan lebih jauh oleh Peraturan
Menteri Negara BUMN No.4 Tahun 2007 yang mengatur mulai dari besaran dana
hingga tatacara pelaksanaan CSR. Seperti kita ketahui, CSR milik BUMN adalah
Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL).
Dalam
UU BUMN dinyatakan bahwa selain mencari keuntungan, peran BUMN adalah juga
memberikan bimbingan bantuan secara aktif kepada pengusaha golongan lemah,
koperasi dan masyarakat. Selanjutnya, Peraturan Menteri Negara BUMN menjelaskan
bahwa sumber dana PKBL berasal dari penyisihan laba bersih perusahaan sebesar 2
persen yang dapat digunakan untuk Program Kemitraan ataupun Bina Lingkungan.
Peraturan ini juga menegaskan bahwa pihak-pihak yang berhak mendapat pinjaman
adalah pengusaha beraset bersih maksimal Rp 200 juta atau beromset paling
banyak Rp 1 miliar per tahun . Namun, UU ini pun masih menyisakan pertanyaan.
Selain hanya mengatur BUMN, program kemitraan perlu dikritisi sebelum disebut
sebagai kegiatan CSR.
Antara CSR dan CSO
Antara CSR dan CSO
Menurut
Sribugo Suratmo (2008), kegiatan kemitraan mirip dengan sebuah aktivitas sosial
dari perusahaan, namun di sini masih ada bau bisnisnya. Masing-masing pihak
harus memperoleh keuntungan. Pertanyaannya: apakah kerjasama antara pengusaha
besar dan pengusaha kecil yang menguntungkan secara ekonomi kedua belah pihak,
dan apalagi hanya menguntungkan pihak pengusaha kuat (cenderung eksploitatif)
bisa dikategorikan sebagai CSR?
Meskipun
CSR telah diatur oleh UU, debat mengenai ”kewajiban” CSR masih bergaung. Bagi
kelompok yang tidak setuju, UU CSR dipandang dapat mengganggu iklim investasi.
Program CSR adalah biaya perusahaan. Di tengah negara yang masih diselimuti
budaya KKN, CSR akan menjadi beban perusahaan tambahan di samping biaya-biaya
siluman yang selama ini sudah memberatkan operasi bisnis.
Ada
pula yang menyoal definisi dan singkatan CSR, terutama terkait huruf ”R”
(Responsibility). Dalam Bahasa Inggris, “responsibility” berasal dari kata ”response”
(tindakan untuk merespon suatu masalah atau isu) dan ”ability” (kemampuan).
Maknanya, responsibility merupakan
tindakan yang bersifat sukarela, karena respon yang dilakukan disesuaikan
dengan ability yang bersangkutan.
Menurut
pandangan ini, kalau CSR bersifat wajib, maka singkatannya harus diubah menjadi
CSO (Corporate Social Obligation). Selain
itu, kalangan yang kontra UU CSR berpendapat bahwa core business perusahaan adalah mencari keuntungan. Oleh karena
itu, ketika perusahaan diwajibkan memerhatikan urusan lingkungan dan sosial,
ini sama artinya dengan mendesak Greenpeace dan Save The Children untuk berubah
menjadi korporasi yang mencari keuntungan ekonomi.
Kelompok
yang setuju dengan UU CSR umumnya berargumen bahwa CSR memberi manfaat positif
terhadap perusahaan, terutama dalam jangka panjang. Selain menegaskan brand differentiation perusahaan, CSR
juga berfungsi sebagai sarana untuk memperoleh license to operate, baik dari pemerintah maupun masyarakat. CSR
juga bisa berfungsi sebagai strategi risk management perusahaan (Suharto,
2008).
Dalam
proses perjalanan CSR banyak masalah yang dihadapinya, di antaranya adalah :Program CSR belum
tersosialisasikan dengan baik di masyarakat,Masih terjadi perbedaan
pandangan antara departemen hukum dan HAM dengan departemen perindustrian
mengenai CSR dikalangan perusahaan dan Industri,Belum adanya aturan yang
jelas dalam pelaksanaan CSR dikalangan perusahaan.
Bila
dianalisis permasalahan di atas, program CSR belum tersosialisasikan dengan
baik. Hal ini menyebabkan program CSR
belum bergulir sebagai mana mestinya, mengingat masyarakat umum belum mengerti
apa itu program CSR. Apa saja yang dapat dilakukannya? Bagaimana dapat
berkolaborasi dengan prosedur perusahaan?
Untuk
menjawab pertanyaan itu, perlu dijelaskan keberhasilan program CSR baik di
media cetak, atau media elektronika dan memberikan contoh keberhasilan program
CSR yang telah dijalankan. Di samping itu perguruan tinggi perlu ambil bagian dalam
proses sosialisasi ini, mengingat perguruan tinggi dapat sebagai agen perubahan
dalam masyarakat. Kerjasama ini dapat berupa penelitian, seminar, dan
pemberdayaan masyarakat.
Bila
dilihat masih belum jelasnya aturan dalam pelaksanaan CSR perusahaan menimbulkan
penafsiran sendiri. Hal ini dapat dilihat dari masing-masing perusahaan yang
memiliki program CSR. Perlu diketahui program CSR yang terpenting adalah aturan
yang mewajibkan programnya harus berkelanjutan (sustainable). Melakukan program CSR yang berkelanjutan akan
memberikan dampak positif dan manfaat yang lebih besar baik kepada perusahaan
itu sendiri berupa citra perusahaan dan para stake holder yang terkait.
Sebagai
contoh nyata dari program CSR yang dapat dilakukan oleh perusahaan dengan semangat
keberlanjutan antara lain pengembangan Bio Energi, Perkebunan Rakyat, dan
pembangkit Listrik tenaga air swadaya masyarakat. Program CSR yang
berkelanjutan diharapkan dapat membantu menciptakan kehidupan dimsyarakat yang
lebih sejahtera dan mandiri. Setiap kegiatan tersebut akan melibatkan semangat
sinergi dari semua pihak secara terus menerus membangun dan menciptakan
kesejahteraan dan pada akhirnya akan tercipta kemandirian dari masyarakat yang
terlibat dalam program tersebut, sesuai dengan kemampuannya. (Zaynah
Amini, Faskab PNPM Mandiri Perdesaan
Banjar)
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar