Sabtu, 14 September 2013

Sinergi PNPM dan CSR di Banjar



Saat Sungai Pinang ‘Meminang’ CSR
Desa Rantau Nangka Kecamatan Sungai Pinang Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, layak menerima “pinangan” dari program CSR (Corporate Social Responsibility)  bentuk kerjasama membanggun lingkungan berdasar  kepedulian PT Pamapersada Nusantara Distric KCMB. Bersinergi dengan pendanaan dari BLM PNPM Mandiri Perdesaan Integrasi SPP-SPPN 2013 sebesar Rp 450.052.700, perusahaan pertambangan itu menambah bantuan sebesar Rp 302.940.000, sehingga ada dana Rp 752.992.700 untuk peningkatan jalan lintas desa lebih berkualitas mendukung pertumbuhan ekonomi perdesaan.
Kondisi jalan di sana tidak layak, licin, terjal, dan berlumpur. Namun begitu masyarakat tetap melewatinya menggunakan sepeda motor mengangkut hasil perkebunan ke luar desa. Usulan perbaikan sudah diajukan melalui mekanisme Musrenbang Reguler tiga tahun lalu. Barulah pada 2012 setelah dimasukkan dalam Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDes) segera diperjuangkan agar terdanai BLM PNPM-Integrasi 2013. Desa lain pun mendukung, sehingga usulan itu menjadi prioritas kecamatan.
Tim verifikasi menyimpulkan, usulan sangat mendesak tetapi anggaran besar. Hanya mengandalkan BLM tidak akan maksimal. Diskusi di lapangan pun semakin berkembang antara harapan..kebutuhan masyarakat dan kriteria usulan yang dapat didanai. Musyawarah bermufakat, untuk “meminang” pihak ketiga, CSR dari perusahaan yang ternyata ada di wilayah desa sekitar. Berberbekal dukungan dari Kepala Desa dan unsur pemerintah desa serta masyarakat, komunikasi dengan pihak ketiga membuahkan hasil.
Kita berupaya gerakan membangun pola kerjasama ini semakin digalakkan dan di fasilitasi oleh lembaga kemasyarakatan, baik yang ada di desa maupun yang di ada di kecamatan seperti BKAD (Badan Kerjasama Antar-Desa). Ini mengingat, peran lembaga berbasis masyarakat ke depan sebagai wadah sekaligus agen penggerak, memfasilitasi, memediasi, mengkomunikasikan dan sekaligus menjadikan lembaga sebagai aktor utama untuk mendorong partisipasi. Juga untuk mendayagunakan keswadayaan dan gotong royong demi menciptakan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat desa.   
      Tanggung jawab sosial

Pembangunan suatu negara bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja. Setiap insan manusia berperan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Dunia usaha berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang sehat dengan mempertimbangan pula faktor lingkungan hidup. Kini dunia usaha tidak lagi hanya memerhatikan catatan keuangan perusahaan semata (single bottom line). Melainkan juga sudah meliputi aspek keuangan, aspek sosial, dan aspek lingkungan atau biasa disebut triple bottom line. Sinergi dari tiga elemen ini merupakan kunci dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Upaya tersebut secara umum dapat disebut sebagai corporate social responsibility atau corporate citizenship dan dimaksudkan untuk mendorong dunia usaha lebih etis dalam menjalankan aktivitasnya agar tidak berpengaruh atau berdampak buruk pada masyarakat dan lingkungan hidupnya. Sehingga pada akhirnya dunia usaha akan dapat bertahan secara berkelanjutan untuk memperoleh manfaat ekonomi yang menjadi tujuan dibentuknya dunia usaha.
Konsep tanggung jawab sosial perusahaan telah mulai dikenal sejak awal 1970an, yang secara umum diartikan sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat dan lingkungan; serta komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan. CSR  tidak hanya merupakan kegiatan karikatif perusahaan dan tidak terbatas hanya pada pemenuhan aturan hukum semata.
Aturan CSR
Di Tanah Air, debut CSR semakin menguat terutama setelah dinyatakan dengan tegas dalam UU PT No.40 Tahun 2007 yang belum lama ini disahkan DPR. Disebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 74 ayat 1).
UU PT tidak menyebutkan secara rinci berapa besaran biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk CSR serta sanksi bagi yang melanggar. Pada ayat 2, 3 dan 4 hanya disebutkan bahwa CSR ”dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran”. PT yang tidak melakukan CSR dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan.
Peraturan lain yang menyentuh CSR adalah UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 15 (b) menyatakan bahwa ”Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.” Meskipun UU ini telah mengatur sanksi-sanksi secara terperinci terhadap badan usaha atau usaha perseorangan yang mengabaikan CSR (Pasal 34), UU ini baru mampu menjangkau investor asing dan belum mengatur secara tegas perihal CSR bagi perusahaan nasional.
Jika dicermati, peraturan tentang CSR yang relatif lebih terperinci adalah UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN. UU ini kemudiaan dijabarkan lebih jauh oleh Peraturan Menteri Negara BUMN No.4 Tahun 2007 yang mengatur mulai dari besaran dana hingga tatacara pelaksanaan CSR. Seperti kita ketahui, CSR milik BUMN adalah Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL).
Dalam UU BUMN dinyatakan bahwa selain mencari keuntungan, peran BUMN adalah juga memberikan bimbingan bantuan secara aktif kepada pengusaha golongan lemah, koperasi dan masyarakat. Selanjutnya, Peraturan Menteri Negara BUMN menjelaskan bahwa sumber dana PKBL berasal dari penyisihan laba bersih perusahaan sebesar 2 persen yang dapat digunakan untuk Program Kemitraan ataupun Bina Lingkungan. Peraturan ini juga menegaskan bahwa pihak-pihak yang berhak mendapat pinjaman adalah pengusaha beraset bersih maksimal Rp 200 juta atau beromset paling banyak Rp 1 miliar per tahun . Namun, UU ini pun masih menyisakan pertanyaan. Selain hanya mengatur BUMN, program kemitraan perlu dikritisi sebelum disebut sebagai kegiatan CSR. 
Antara CSR dan CSO
Menurut Sribugo Suratmo (2008), kegiatan kemitraan mirip dengan sebuah aktivitas sosial dari perusahaan, namun di sini masih ada bau bisnisnya. Masing-masing pihak harus memperoleh keuntungan. Pertanyaannya: apakah kerjasama antara pengusaha besar dan pengusaha kecil yang menguntungkan secara ekonomi kedua belah pihak, dan apalagi hanya menguntungkan pihak pengusaha kuat (cenderung eksploitatif) bisa dikategorikan sebagai CSR?
Meskipun CSR telah diatur oleh UU, debat mengenai ”kewajiban” CSR masih bergaung. Bagi kelompok yang tidak setuju, UU CSR dipandang dapat mengganggu iklim investasi. Program CSR adalah biaya perusahaan. Di tengah negara yang masih diselimuti budaya KKN, CSR akan menjadi beban perusahaan tambahan di samping biaya-biaya siluman yang selama ini sudah memberatkan operasi bisnis.
Ada pula yang menyoal definisi dan singkatan CSR, terutama terkait huruf ”R” (Responsibility). Dalam Bahasa Inggris, “responsibility” berasal dari kata ”response” (tindakan untuk merespon suatu masalah atau isu) dan ”ability” (kemampuan). Maknanya, responsibility merupakan tindakan yang bersifat sukarela, karena respon yang dilakukan disesuaikan dengan ability yang bersangkutan.
Menurut pandangan ini, kalau CSR bersifat wajib, maka singkatannya harus diubah menjadi CSO (Corporate Social Obligation). Selain itu, kalangan yang kontra UU CSR berpendapat bahwa core business perusahaan adalah mencari keuntungan. Oleh karena itu, ketika perusahaan diwajibkan memerhatikan urusan lingkungan dan sosial, ini sama artinya dengan mendesak Greenpeace dan Save The Children untuk berubah menjadi korporasi yang mencari keuntungan ekonomi.
Kelompok yang setuju dengan UU CSR umumnya berargumen bahwa CSR memberi manfaat positif terhadap perusahaan, terutama dalam jangka panjang. Selain menegaskan brand differentiation perusahaan, CSR juga berfungsi sebagai sarana untuk memperoleh license to operate, baik dari pemerintah maupun masyarakat. CSR juga bisa berfungsi sebagai strategi risk management perusahaan (Suharto, 2008).
Dalam proses perjalanan CSR banyak masalah yang dihadapinya, di antaranya adalah :Program CSR belum tersosialisasikan dengan baik di masyarakat,Masih terjadi perbedaan pandangan antara departemen hukum dan HAM dengan departemen perindustrian mengenai CSR dikalangan perusahaan dan Industri,Belum adanya aturan yang jelas dalam pelaksanaan CSR dikalangan perusahaan.
Bila dianalisis permasalahan di atas, program CSR belum tersosialisasikan dengan baik.  Hal ini menyebabkan program CSR belum bergulir sebagai mana mestinya, mengingat masyarakat umum belum mengerti apa itu program CSR. Apa saja yang dapat dilakukannya? Bagaimana dapat berkolaborasi dengan prosedur perusahaan?
Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu dijelaskan keberhasilan program CSR baik di media cetak, atau media elektronika dan memberikan contoh keberhasilan program CSR yang telah dijalankan. Di samping itu perguruan tinggi perlu ambil bagian dalam proses sosialisasi ini, mengingat perguruan tinggi dapat sebagai agen perubahan dalam masyarakat. Kerjasama ini dapat berupa penelitian, seminar, dan pemberdayaan masyarakat.
Bila dilihat masih belum jelasnya aturan dalam pelaksanaan CSR perusahaan menimbulkan penafsiran sendiri. Hal ini dapat dilihat dari masing-masing perusahaan yang memiliki program CSR. Perlu diketahui program CSR yang terpenting adalah aturan yang mewajibkan programnya harus berkelanjutan (sustainable). Melakukan program CSR yang berkelanjutan akan memberikan dampak positif dan manfaat yang lebih besar baik kepada perusahaan itu sendiri berupa citra perusahaan dan para stake holder yang terkait.
Sebagai contoh nyata dari program CSR yang dapat dilakukan oleh perusahaan dengan semangat keberlanjutan antara lain pengembangan Bio Energi, Perkebunan Rakyat, dan pembangkit Listrik tenaga air swadaya masyarakat. Program CSR yang berkelanjutan diharapkan dapat membantu menciptakan kehidupan dimsyarakat yang lebih sejahtera dan mandiri. Setiap kegiatan tersebut akan melibatkan semangat sinergi dari semua pihak secara terus menerus membangun dan menciptakan kesejahteraan dan pada akhirnya akan tercipta kemandirian dari masyarakat yang terlibat dalam program tersebut, sesuai dengan kemampuannya. (Zaynah Amini, Faskab PNPM Mandiri Perdesaan Banjar)
***



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar