Jumat, 29 November 2013

Salam SiKompak untuk UPK Phaseout



Kemandirian UPK Pasca-PNPM
Banyak pelaku pemberdayaan masyarakat mempertanyakan, pasca-PNPM berakhir 2014 apakah kinerja Unit Pengelola Kegiatan (UPK) di kecamatan yang kini mengelola aset modal miliaran rupiah sudah mampu menunjukkan kemandiriannya. Selama ini pemberdayaan ekonomi warga miskin melalui kegiatan simpan pinjam kelompok perempuan (SPP) banyak ditopang oleh tenaga pendamping fasilitator kecamatan, dan bimbingan dari Fasilitator Keuangan (Faskeu) kabupaten.
Maka jika terjadi penyelewengan dalam mengelola keuangan, lambat atau cepat bisa diketahui dan diikuti penindakan. Ada UPK yang menghasilkan keuntungan dalam bentuk surplus, selain untuk menambah modal juga 15 persennya untuk memberikan santunan sosial kepada warga rumah tangga miskin (RTM). Tunggakan di tiap UPK berbeda, antara 0 persen sampai 30%.  Justru masalah yang muncul belakangan, banyaknya modal simpan pinjam yang mengendap di bank. Di UPK Aluh-aluh Kabupaten Banjar misalnya, ada Rp 2 miliar dana menganggur. Di Kalsel tercatat dana menganggur di bank sekitar 46% dari total dana bergulir Rp 110.233.169.837.
Di sisi lain, ada UPK yang sudah tidak lagi didampingi fasilitator kecamatan (FK) karena bukan lagi lokasi PNPM Mandiri Perdesaan (phaseout) seperti di Batang Alai Selatan (BAS) Kabupaten Hulu Sungai Tengah, kelompok SPP harus antre untuk memperoleh pinjaman. Ketua Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD) Baihaki, proaktif bagaimana UPK bisa mandiri. Dengan ketua Rabiatul Adawiyah, Bendahara Fatimah Erni SPdI, sekretaris Erni Suriati, UPK BAS sempat mengusulkan memperoleh tambahan modal dari APBD Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Namun aturan tentang hibah bantuan sosial membuat rencana alokasi tambahan modal sekitar Rp 250 juta di tahun 2013 ini belum teralisasi. 
Kini aset produktifnya Rp 448.541.963 diperoleh dari modal awal tahun 2008 pertama PNPM Mandiri Perdesaan hadir menyisihkan dana perguliran BLM Rp 229.300.000 untuk SPP. UPK ini pernah mengalami surplus tahun 2011-2012 untuk sunatan massal, dan dibagi di 2013 Rp 27 juta untuk penambahan modal. Dengan honor ketua Rp 1,5 juta, sekretaris dan bendahara masing-masing Rp 1.250.000, pengurus terus bertahan, ditopang uang transport dari APBD melalui BPMPD Rp 300 ribu per bulan untuk tiga orang, mereka tetap gigih menagih peminjam yang telat bayar.
Itu langkah mereka untuk bisa melayani kelompok yang antre pinjam Rp 266 juta, sedangkan saldo bank hanya Rp 23 juta. Sedangkan tiap bulan uang setoran masuk hanya sekitar Rp 50 juta. Jika saja UPK yang berkinerja baik dan mandiri seperti di BAS ini bisa dipinjami dana dari UPK lain yang dananya menganggur, tentu bisa lebih memandirikan mereka. Tapi sayangnya, aturan yang ada belum memungkinkan. Semoga para pengambil kebijakan tepat menenemukan langkah solusi. Salam! (SiKompak)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar