Tak Cukup Modal Kepercayaan
PELAIHARI- Memberikan kepercayaan penuh kepada orang
yang sekian lama diberi mandat mengelola keuangan ternyata bisa menjadi
bumerang.
Ketua UPK (Unit Pengelola Kegiatan) Bati-bati Kabupaten Tanah Laut,
HM Thoha menutup buku tahun 2013 dengan catatan merah yang nyaris membuat semua
pelaku PNPM Mandiri Perdesaan di Kalimantan Selatan memendam marah. Bagaimana
tidak marah, kurang dari lima bulan Rabiatul Fitriah bendahara UPK Bati-bati
menerima penghargaan dari Gubernur sebagai UPK terbaik se-provinsi, tanpa
seorang pun menduga dinyatakan sebagai tersangka kasus penggelapan dana
perguliran kelompok SPP. Taksiran sementara, dana yang seharusnya dimanfaatkan
oleh warga rumah tangga miskin (RTM) sebanyak Rp 1,1 miliar ditilep untuk
kepentingan pribadi.
![]() |
Bazar sembako murah menjelang Idul Fitri |
Ketua UPK dan Koordinator Faskab serius bahas Bati-bati. |
Ihwal kasus ini terendus dari pemeriksaan rutin
Fasilitator Keuangan PNPM-MPd Kabupaten Tanah Laut, Aminah, 12-13 September 2013
yang menemukan “gunung es” penyimpangan. Aminah yang bertugas di kabupaten ini
belum genap enam bulan semula ikut bangga kepada UPK Bati-bati yang tak pernah
menyisakan tunggakan setiap bulannya. Keuntungan UPK pun tiap tahun dibagikan
kepada warga RTM dalam seremoni yang meriah. Bahkan pada 2013 acara bakti
sosial membagi surplus dihadiri bupati dan wakil bupati terpilih.
![]() |
Atul berperan penting di acara penting |
Namun Aminah mencermati, mengapa penyaluran dana
bergulir kepada kelompok SPP yang hendak meminjam lagi diberikan pada
akhir bulan. “Penyaluran 80 % di akhir bulan. Kami menelusuri, menemukan satu kelompok SPP yang mengajukan pinjaman sampai tanggal 30 belum menerima dananya. Bendahara mengakui, ada kelompok SPP belum terima dana pinjaman yang diajukan Rp 155 juta. Pada saat yang sama dia juga tak bisa menunjukkan kelompok SPP lain yang hendak meminjam Rp 96,5 juta. Padahal di buku kas dilaporkan dana sudah disalurkan ke semua kelompok SPP,” papar Aminah.
akhir bulan. “Penyaluran 80 % di akhir bulan. Kami menelusuri, menemukan satu kelompok SPP yang mengajukan pinjaman sampai tanggal 30 belum menerima dananya. Bendahara mengakui, ada kelompok SPP belum terima dana pinjaman yang diajukan Rp 155 juta. Pada saat yang sama dia juga tak bisa menunjukkan kelompok SPP lain yang hendak meminjam Rp 96,5 juta. Padahal di buku kas dilaporkan dana sudah disalurkan ke semua kelompok SPP,” papar Aminah.
Dari temuan itulah tim fasilitator kabupaten (faskab)
sigap menggali informasi di lapangan. Koordinator faskab, Syaiful Rahman
akhirnya mendapatkan pengakuan dari Atul, sapaan akrab Rabiatul Fitriah, dana
perguliran yang tidak disalurkan ke kelompok SPP sekitar Rp 800 juta. Setelah
diaudit lebih jauh, ditemukan nilai penggelapan Rp 1,1 miliar. Cara
menyelewengkannya antara lain dengan membuat data duplikat kelompok SPP. Tim
verifikasi yang hendak mengecek satu per satu keberadaan kelompok sebelum
menerima kucuran dana disodori data yang benar-benar ada kelompoknya. Tapi di
lapangan anggota kelompok oleh pelaku diacak. Tim bisa bertemu dengan semua
peminjam. Untuk nama-nama peminjam yang dimanipulasi oleh pelaku dikatakan orangnya
sedang pergi, dan akan diverifikasi sendiri oleh pelaku dengan alasan bagi
tugas agar pekerjaan cepat selesai.
Cara meyakinkan pelaku kepada ketua UPK HM Thoha sulit
dibantah. “Apalagi saya di bidang ke-UPK-an masih baru. Dia menjadi bendahara
UPK sejak 2008, belum pernah ganti. Jadinya, kami percaya sepenuhnya pada apa
yang dia laporkan. Karena kenyataannya setiap diaudit selalu beres, tidak
ditemukan penyimpangan,” papar Thoha.
Ketua UPK terdahulu, Aman Sutrisna, mengundurkan diri
tahun 2010, kemudian digantikan HM Thoha yang sebelumnya hanya menjadi KPMD
(Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa). Saat itu Thoha menangkap kesan,
pengunduran diri Aman Sutrisna karena sudah menangkap ketidak beresan
Atul. “Saya sendiri merasa kalah pintar
dengan Bu Atul dalam hal keuangan, dan sudah beberapa kali minta diganti tapi
tidak pernah dikabulkan,” ungkap Thoha.
Saat harus
berhadapan dengan tim pemberantasan tindak pidana korupsi (tim tastipikor)
Polres Tanah Laut, Thoha menyadari, memberikan kepercayaan penuh kepada orang
yang kelihatannya baik bisa menjadi bumerang. Thoha tak mengira, orang sebaik
Atul dalam penampilan sehari-harinya bisa berbuat senekad itu. “Modal
kepercayaan saja tidak cukup jika kita diserahi mandat untuk mengelola uang.
Pengawasan tetap harus ketat,” ujarnya memetik pelajaran dari kasus ini.(kie)
Fasilitator Periksa
Keuangan Dimarahi
Begitu berpengaruhnya Atul, diceritakan HM Thoha, saat
fasilitator kecamatan (FK) baru hendak memeriksa lebih detail laporan keuangan
UPK Bati-bati, justru dimarahi. Pengurus UPK yang lain, termasuk Thoha sempat
ikut-ikutan menunjukkan sikap konfrontasi kepada FK Krisna Werneti. “Kami
sempat memperingatkan kepada FK yang baru agar jangan macam-macam mencari-cari
kesalahan,” kenangnya saat memarahi FK.
![]() |
Atul saat menerima penghargaa UPK terbaik se-Kalsel. |
Itu bukan tanpa sebab. Karena sewaktu FK mulai
mengendus ada ketidakberesan laporan keuangan, Kepala Desa Nusa Indah Suparman
yang juga ketua BKAD (Badan Kerja Sama Antar-Desa), membela Atul yang juga
menjadi bendahara desa di sana. Ketua BP UPK, Ir Sujiono, pun awalnya meminta
agar masalah diselesaikan internal saja, tak perlu melibatkan aparat penegak
hukum. Namun begitu tahu bahwa dana yang digelapkan mencapai Rp 1,1 miliar,
mereka hanya bisa terbengong-bengong, karena dana itu diselewengkan sejak tahun
2010.
![]() |
Bersama tim pemberdayaan di Tala |
Tak ada yang percaya bagaimana mungkin uang sebanyak
itu bisa mengalir masuk ke kantong pribadi. Tim faskab yang menelusuri awal
penyimpangan memang bermula dari jumlah kecil. “Ada kelompok yang membayar
angsuran tidak ke kantor UPK, tapi ke rumah bendahara. Angsuran itu tidak
disetorkan ke bank,” ujar Aminah. Kelompok SPP yang datanya dimanipulasi dalam
laporan selalu tidak memiliki tunggakan karena setoran ditutup dengan
memanipulasi penyaluran ke kelompok lain. Intinya mirip gali lubang tutup
lubang. Baru pada bulan September 2013, karena lubang yang harus ditutup sudah
terlalu banyak, pelaku kewalahan dan laporan tak bisa direkayasa lagi.
BPKP sampai akhir Desember 2013 masih menuntaskan
audit atas permintaan tim tastipikor, dan menemukan angka Rp 9 juta uang angsuran
kelompok yang ditilep Atul. Yang bersangkutan sendiri sangat kooperatif dalam
pemeriksaan ini, sehingga meskipun sudah ditetapkan sebagai tersangka namun
tidak ditahan.
Untuk apa saja uang itu dipakai, semua orang di
sekitarnya menyatakan karena gaya hidup mewah. Mereka tidak menaruh curiga
dengan gaya hidup itu karena selama ini dikenal sebagai istri seorang
kontraktor. Pengakuannya kepada tim pemeriksa BPKP terungkap, untuk keperluan
pribadi setiap hari Rp 200 ribu x 30 hari x 29 bulan sekitar Rp 174 juta. Untuk
beli tas, baju, sepatu sekitar Rp 20 juta. Beli perhiasan Rp 75 juta, dibawa ke
Jawa Rp 30 juta, untuk biaya kuliah Rp 10 juta. Sejauh ini belum diketahui ke
mana dia membawa uangnya karena dari catatan baru terdata sekitar Rp
447.800.000 yang dipakai untuk kepentingan pribadi.(kie)